Pages

October 27, 2012

Crazy Little Thing Called Love (2010)


Masa SMA adalah masa yang paling indah dalam hidup kita, dan tidak akan terlupakan sepanjang hidup kita. Yang mana pada masa itu adalah masa pencarian jati diri, masa peralihan remaja menuju dewasa, masa dimana kita mulai menyukai lawan jenis. Ya semua hal itu karena disebabkan oleh satu hal yang disebut dengan C I N T A. Mungkin highlight seperti itulah yang coba ditawarkan film Thailand yang akan saya review kali ini, Crazy Little Thing Called Love.

Crazy Little Thing Called Love yang mempunyai judul lain First Love: A Little Thing Called Love atau dalam bahasa Thailand Sing lek lek thi riak wa... rak bercerita tentang Nam (Pimchanok Luevisadpaibul) seorang wanita jelek, hitam, culun dan dekil yang diam-diam menyukai seniornya, Shone (Mario Maurer) seorang pria yang berparas tampan incaran semua wanita. Lalu dengan bantuan teman-temannya, dan sebuah buku yang berisi berbagai metode untuk mendapatkan hati seorang pria. Maka Nam pun melalui segala cara untuk mendapatkan pria idamannya, termasuk mengubah penampilannya. Alhasil Nam pun akhirnya menjadi wanita yang sangat cantik. Tapi dengan segala perubahan terhadap dirinya, justru teman dekat Shone lah yang menaruh hati terhadap Nam. Dan ironis ternyata Shone telah mempunyai seorang pacar. Cinta segitiga pun tak terelakkan, jadi apakah dengan segala perjuangan Nam selama ini dia mampu menaklukkan hati Shone?

Klise memang plot ceritanya, sudah sering kita temukan dari kebanyakan film bertema serupa. Sama klisenya dengan pengalaman semua orang ketika sedang merasakan jatuh cinta. Tapi justru keklisean ceritanya itulah yang menjadi keunggulan dari film ini. Membuatnya begitu dekat dengan penontonnya. Apalagi budaya dan kebiasaan di Thailand itu beda-beda tipis dengan di Indonesia, menjadikannya sangat familiar. Selain cerita tentang Nam dan Shone tadi, ada juga cerita tentang gurunya Nam yaitu Inn (Sudarat Budtporm) yang menyukai guru Nam lainnya, plot ini juga tidak kalah menariknya untuk disimak. Film besutan duet sutradara Puttiphong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong ini pada paruh pertamanya memang dipenuhi dengan hal-hal yang menyenangkan namun pada saat menjelang akhir semua berubah agak sedikit mendrama, seperti konfilk Nam dengan temannya dan kegalauan Nam terhadap Shone.

October 16, 2012

V/H/S (2012)


Antologi dan mockumentary horror, apa jadinya jika kedua sub-genre horror tersebut digabungkan? Mungkin pertanyaan tersebut akan terjawab jika anda menonton film yang akan saya review kali ini, V/H/S. Mockumentary horror, sub-genre yang satu ini memang sedang digandrungi para sineas dunia. Saya memang bukan penggemar fanatik film horror, tapi saya selalu ada perhatian khusus untuk sub-genre yang satu ini. Sebut saja Paranormal Activity dan [REC], dua film itu adalah favorit saya di genre mocku-horror.

Jadi V/H/S sama saja seperti mockumentary horror yang lain; found footage, budget rendah, jajaran cast yang tidak dikenal. Jadi yang membedakannya adalah film ini dibalut dengan antologi atau omnibus. Yaitu dalam satu film ada banyak cerita. Juga yang perlu diperhatikan dari V/H/S adalah seperti kebanyakan film mockumentary lainnya yaitu penggunaan shaky camera-nya yang kadang bagi sebagian orang akan pusing melihatnya. Pengambilan gambarnya yang bergoyang itu mungkin sangat mengganggu. Di V/H/S juga sarat dengan unsur erotika dan tingkat kesadisan gore-nya yang diambang batas kewajaran. Lalu seperti biasa, setiap film omnibus memiliki segmen-segmennya. Nah di V/H/S ada 6 segmen yaitu Tape 56, Amateur Night, Second Honeymoon, Tuesday the 17th, The Sick Thing That Happened to Emily When She Was Younger dan 10/31/98.

Tape 56, segmen pertama atau plot utama dari film ini, menceritakan sekelompok remaja yang disuruh orang tak dikenal untuk mengambil beberapa kaset VHS dari sebuah rumah yang tampaknya kosong. Sesampainya dirumah itu mereka menemukan mayat seorang pria di depan televisi yang terbujur kaku dan tentunya tumpukan kaset yang banyak. Mereka pun memutuskan untuk menonton beberapa kaset yang tentunya kita juga akan ikut menontonnya bersama mereka. Cerita Tape 56 masih akan berlanjut di sela-sela segmen lainnya berakhir. Cerita utama dari film ini, Tape 56 disutradarai oleh Adam Wingard. Kesan yang pertama kali terpintas dipikiran saya adalah “kenapa kualitas gambarnya buruk” padahal saya mendownloadnya sudah kualitas bagus. Eh ternyata, konsep dari segmen ini memang dibikin seperti rekaman kaset VHS.

October 6, 2012

Jackass 3D (2010)


Jackass berisikan sekumpulan orang bangsat tak takut mati yaitu Johnny Knoxville, Bam Margera, Steve-O, Ryan Dunn, Wee Man, Preston Lacy, Chris Pontius, Danger Ehren, dan Dave England. Mereka senang sekali mempermainkan nyawa mereka hanya untuk membuat orang tertawa. Pada awalnya Jackass merupakan serial TV yang muncul di MTV sekitar tahun 2000 sampai 2001, kemudian muncul Jackass The Movie dan Jackass Number Two dalam bentuk layar lebar. Dan sekarang Jackass 3D.

Jackass 3D tetap sama dengan film terdahulunya, tidak ada plot atau script, orangnya tetap sama, masih bertingkah gila. Lalu apa yang berbeda dari film Jackass kali ini. Jika melihat embel-embel 3D yang dipajang dijudulnya itu mungkin kalian sudah mengetahuinya. Ya film Jackass ini disajikan dalam format 3D. Murni menggunakan kamera 3D, tidak dari hasil konversi. Namun karena saya hanya menontonnya lewat layar laptop saja, jadi tidak bisa merasakan sensasi 3D-nya. Sangat disayangkan jika tidak menontonnya dalam bentuk 3D.

Jackass 3D dibuka dengan Beavis dan Butt-Head yang memperkenalkan format 3D yang dipakai di film ini. Lalu berlanjut dengan opening yang menampilkan para anggota Jackass. Di opening mereka mempertunjukan setiap anggotanya di hantam dengan berbagai macam benda dengan efek super slowmotion keren dan efek 3D yang memanjakan mata. Opening-nya di-shoot dengan kamera phantom yang mampu menangkap 1000 frame/detik. Setelah itu barulah serangkaian aksi gila bin bangsat nan sinting mulai bertaburan.

October 3, 2012

Republik Twitter (2012)


Sebagai seorang movie-blogger Indonesia, aneh rasanya jika saya tidak pernah mereview film Indonesia. Nah kali ini saya akan mencoba mereview film dari negeri sendiri. Film yang akan saya review kali ini adalah Republik Twitter.

Jejaring sosial atau yang biasa dikenal dengan social network menjadi suatu tren dimasa kini. Hampir setiap orang setidaknya memiliki satu akun jejaring sosial. Bahkan saya saja pernah mencoba beberapa jejaring sosial seperti Friendster, Facebook, Twitter, Google+, dan masih banyak lagi. Dan tentu tujuan setiap orang memiliki jejaring sosial berbeda-beda seperti, mencari teman, bisnis, ajang promosi, atau bahkan mencari jodoh. Layaknya seperti sebuah koin yang mempunyai dua sisi berbeda, ada beberapa pihak yang menyalahgunakan jejaring sosial sesuai kodratnya seperti sebagai ajang saling menghina yang kadang berbau sara. Lalu apa hubungannya ulasan saya diatas dengan film yang akan saya review kali ini. Seperti yang terlihat dijudulnya Republik Twitter, film ini akan banyak sekali membahas soal Twitter.

Republik Twitter mempunyai dua plot cerita tentang percintaan dan politik. Republik Twitter berpusat pada Sukmo (Abimana Arya) dan Hanum (Laura Basuki). Sukmo datang dari Jogja ke Jakarta berniat menemui Hanum gadis yang ia kenal lewat Twitter. Dengan dibantu temannya Andre (Ben Kasyapani) akhirnya Sukmo pergi ke Jakarta menemui Hanum, namun saat mereka sudah hampir bertemu, tiba-tiba Sukmo menjadi minder dan mengurungkan niatnya. Lalu Sukmo bekerja dengan Belo (Edi Oglek) disuatu warnet sebagai seorang buzzer yang menjadikan orang penting jadi trending topic di Twitter atau dengan kata lain disebut pencitraan di Twitter. Sampai pada suatu waktu ia membantu Hanum yang berniat membuat artikel dari kantornya yang berhubungan dengan kampanye politik lewat Twitter. Dan akhirnya pada saat dua plot ini saling bertemu masalahnya pun menjadi semakin rumit.