Pages

March 4, 2013

The ABCs of Death (2012)

Tahu dengan film antologi? Ya, dalam satu film terdapat lebih dari satu cerita atau kumpulan film pendek. Tapi 3 sampai 10 cerita sudah biasa, apa jadinya jika dalam satu film terdapat 26 cerita berbeda. Itulah yang coba dihadirkan di The ABCs of Death. Seperti yang tertulis di taglinenya “26 Directors, 26 Ways to Die”. The ABCs of Death berisi 26 film horror pendek yang disutradarai 26 sutradara mancanegara yang masing-masing mewakili tiap huruf dalam alphabet.

A is for Apocalyse, disutradarai Nacho Vigalondo, mengisahkan tentang seorang pria yang sedang rebahan ditempat tidur tiba-tiba datang wanita yang langsung menusuknya. Pembukaan yang pas untuk pemanasan ke film selanjutnya, adegan gore yang cukup sadis, dan ada twistnya juga. B is for Bigfoot, disutradarai Adrian Garcia Bogliano, mengisahkan tentang suami-istri yang sedang merayu dan menakuti anaknya untuk segera tidur, karena jika tidak, akan ada sosok misterius yang akan datang. Sayang sekali tidak semenyeramkan judulnya. C is for Cycle, disutradarai Ernesto Diaz Espinoza, mengisahkan tentang seorang pria yang terbangun dari tidurnya karena mendengar suara aneh dari luar, dia pun menyelidikinya, dan ternyata pria tersebut malah mengalami peristiwa aneh. Saya suka sekali dengan ceritanya yang cerdas. D is for Dogfight, disutradarai Marcel Sarmiento, mengisahkan tentang pertarungan antara seorang manusia dan seekor anjing ganas. So far, film ini yang paling memuaskan, dibalut dengan efek slow motion indah, tingkat ketegangannya juga pas.

E is for Exterminate, disutradarai Angela Bettis, mengisahkan tentang seorang pria yang terganggu dengan kehadiran laba-laba yang hinggap di dinding rumahnya. Menjadikan laba-laba sebagai media kematian bisa dibilang cukup bagus, namun sayang dieksekusi dengan seadanya. F is for Fart, disutradarai Noboru Iguchi, mengisahkan tentang perasaan cinta seorang wanita kepada guru wanitanya. Jujur film ini adalah yang paling konyol nan absurd, entah berapa kali saya dibuat tertawa oleh film ini. G is for Gravity, disutradarai Andrew Traucki, mengisahkan tentang seseorang yang sedang berselancar lalu mati tenggelam. Dengan konsep kamera orang pertama namun sama sekali tidak menarik. H is for Hydro-Electric Diffusion, disutradari Thomas Malling, mengisahkan tentang anjing jantan yang terpesona melihat kucing betina. Film yang lucu sekaligus cukup sadis. I is for Ingrown, disutradarai Jorge Michel Grau, mengisahkan wanita yang diikat di bak mandi lalu disuntik seorang pria yang mengakibatkan efek kepadanya. Agak membingungkan ceritanya, mungkin akan lebih bagus jika dibuat versi panjangnya.

J is for Jidai-geki, disutradarai Yudai Yamaguchi, mengisahkan seorang pria yang hendak dieksekusi dengan Samurai. Dari semua sineas Jepang yang ikut, saya rasa film ini yang paling menarik, unsur komedi dari ekspresi konyol yang mudah untuk ditertawakan. K is for Klutz, disutradarai Anders Morgenthaler, mengisahkan tentang wanita yang mengalami masalah dengan kotoran. Animasi yang menghibur dan endingnya yang cukup…. L is for Libido, disutradarai Timo Tjahjanto, mengisahkan tentang sebuah permainan yang mana pesertanya diharuskan untuk masturbasi. Ini dia yang paling saya tunggu, bangga rasanya melihat sineas lokal dengan cerita cerdas dan gila, salah satu yang terbaik di ABCs. M is for Miscarriage, disutradarai Ti West, intinya ceritanya tentang wanita yang mempunyai masalah dengan keintimannya. Kecewa berat sama West, mempunyai kapasitas nama paling terkenal, eh filmnya cuma segitu doang, tidak jelas banget ceritanya apa. N is for Nuptials, disutradarai Banjong Pisanthanakun, mengisahkan tentang pasangan yang terlihat baik-baik saja, namun seketika berubah saat seekor burung beo bertingkah. Lagi-lagi saya dibuat tertawa oleh Banjong setelah dua filmpen-nya di dwilogi Phobia. Ceritanya sederhana, sentuhan komedinya ngena.


O is for Orgasm, disutradarai Bruno Forzani dan Helene Cattet, mengisahkan tentang pria dan wanita yang sedang bercinta (?). Punya visualisasi yang indah tapi tidak terlalu memikat hati saya. P is for Pressure, disutradarai Simon Rumley, mengisahkan wanita yang mencari uang dengan melacur. Film ini tidak ada yang special, biasa saja. Q is for Quack, disutradarai Adam Wingard, mengisahkan dua pria yang  ingin membuat film pendek. Sama seperti film sebelumnya, ya berakhir biasa saja. R is for Removed, disutradarai Srdjan Spasojevic, mengisahkan seorang pria yang sedang dibedah. Setelah dikecewakan tiga film sebelumnya, tensi yang sempat menurun kembali meningkat ketika film ini, adegan sadisnya yang diperlihatkan secara gamblang. S is for Speed, disutradarai Jake West, mengisahkan wanita yang menyandra wanita lain. Yah, lagi-lagi film yang berakhir biasa saja bagi saya. T is for Toilet, disutradarai Lee Hardcastle, mengisahkan seorang anak yang takut pergi ke toilet. Dikemas dengan gaya claymation, unsur komedi dan disturb yang menyenangkan, film ini juga yang menjadi pemenang sayembara untuk huruf T.

U is for Unearthed, disutradarai Ben Wheatley, mengisahkan vampir yang dikejar tiga orang pria. Mengambil format first person camera sama seperti di G, sayang sudut pandangnya diletakkan di vampirnya, jadi kengeriannya sedikit berkurang. V is for Vagitus, disutradarai Kaare Andrews, mengisahkan polisi wanita yang sedang bertugas mencari pemberontak. Tidak terlalu menarik bagi saya, tapi punya cerita yang bagus dan efek yang oke, mungkin akan lebih cocok dijadikan film panjang. W is for WTF, disutradarai Jon Schnepp, mengisah tentang segerombolan pemuda tidak karuan. Editing yang acak-acakan, salah satu yang terburuk di ABCs. X is for XXL, disutradarai Xavier Gens, mengisahkan seorang wanita yang dilecehkan orang karena memiliki masalah dengan obesitasnya, dia pun melakukan segala cara untuk mendapatkan tubuh langsing, sekalipun membahayakan nyawanya. Film tergila, tersadis, banjir darah. Adegan gore yang mampu membuat ngilu mengernyitkan dahi. Y is for Youngbuck, disutradarai Jason Eisener, mengisahkan seorang pria pedofilia. Cocok dibuat versi panjangnya. Z is for Zetsumetsu, disutradarai Yoshihiro Nishimura, mengisahkan tentang makanan yang terbuat dari bahan yang...? Film sutradara Tokyo Gore Police yang sarat ketelanjangan, keabsurdan, dan kesintingan.

Secara keseluruhan The ABCs of Death adalah memang film dengan konsep yang bagus. Tapi sangat disayangkan ada beberapa film yang dibuat seadanya asal jadi. Dan senang sekaligus bangga sekali rasanya melihat sineas Indonesia, Timo Tjantanto ikut berpartisipasi, apalagi justru karya Timo jauh lebih bagus dibanding film lainnya. Film favorit saya adalah D, L, N, T, dan X.

7.5/10

No comments:

Post a Comment